Add caption |
(Arrahmah.com) - Tadabbur Qs.
At-Taubah ayat 9-10, Tafsir Al-Manar, Syeikh Muhammad Abduh/Rasyid Ridha,
bersama Al-Ustadz Muhammad Thalib.
اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَصَدُّوا عَن سَبِيلِهِ ۚ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (9) لَا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ
إِلًّا وَلَا ذِمَّةً ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُعْتَدُونَ
(10)
“Kaum musyrik menukar keimanan dengan kesenangan dunia yang
sedikit, lalu mereka menyimpang dari agama-Nya. Sungguh amat buruk perbuatan
yang mereka lakukan. Kaum musyrik tidak mau memperhatikan hak ikatan
kekerabatan dengan seorang mukmin sedikit pun, walaupun telah diadakan
perjanjian. Mereka itu adalah orang-orang yang suka melanggar perjanjian.”
Orang-orang kafir dan musyrik tidak
pernah bisa memahami, mengapa mereka disalahkan oleh orang Islam dengan
kekafiran dan kemusyrikan mereka. “Apa yang salah dengan pemahaman dan
keyakinan keagamaan kami yang tidak mengikuti pemahaman dan keyakinan keagamaan
kalian?” begitulah pertanyaan mereka.
Oleh karena itu, dimanapun dan di zaman
kapan pun, jika berhadapan dengan kaum muslimin orang-orang kafir dan musyrik
pasti membenci orang-orang beriman, baik dalam ucapan maupun perbuatan mereka.
Inilah karakteristik orang-orang kafir
dan musyrik berhadapan dengan orang Islam, sebagaimana termaktub dalam ayat
tersebut di atas: pertama, orang-orang kafir dan musyrik menganggap, keimanan
kepada Allah seperti yang diajarkan Muhammad merupakan aib besar. Di zaman Arab
Jahiliyah, orang-orang yang memeluk Islam dibenci oleh masyarakat, bahkan
diperangi, termasuk diputuskan hubungan kekeluargaan.
Kedua, Apabila dalam posisi kuat dan
menang, orang-orang kafir dan musyrik pasti menindas orang Islam,
memperlakukannya secara jahat, biadab dan tidak manusiawi.
Di zaman modern ini, perlakuan biadab
penganut Budha di Rohingya, Burma, terhadap penduduk minoritas muslim merupakan
fakta yang tidak terbantahkan. Begitu pula, perlakuan kaum Syi’ah yang
bersekongkol dengan komunis di Suriah, khususnya di daerah Homs. Sedemikian
biadabnya bahkan setanpun tidak akan bertindak sekejam itu.
Ketiga, setiap kali mengadakan
perjanjian dengan orang Islam, pasti orang-orang kafir berkhianat dan melanggar
perjanjian tersebut.
Dalam perjanjian Hudaibiyah (bulan
Zulqa’dah, tahun ke-6 Hijriah), antara Nabi Muhammad Saw dan masyarakat
jahiliyah di Makah, menyepakati antara lain: penghentian permusuhan selama
sepuluh tahun, dan orang-orang Islam tidak boleh memasuki kota Makkah hingga
batas waktu sepuluh tahun berlalu.
Nabi Muhammad Saw dan kaum muslimin
mematuhi perjanjian ini dan tetap terikat dengan perjanjian. Butir-butir isi
perjanjian Hudaibiyah antara lain:
1.
Kaum Muslimin dilarang umrah tahun itu
dan harus segera kembali ke Madinah. Umrah hanya boleh pada tahun berikutnya
dengan syarat tidak boleh berada di kota Makkah lebih dari 3 hari, dan tidak
boleh membawa senjata.
2.
Gencatan senjata – tak boleh ada peperangan
– antara kaum Quraisy dan Muslimin selama 10 tahun.
3.
Suku apapun di Jazirah Arab
diperbolehkan bekerjasama dengan kaum Quraisy maupun kaum Muslimin, namun tidak
boleh membantu peperangan.
4.
Jika ada salah satu dari kaum
Quraisy yang tidak seizin wali/keluarganya menyeberang ke pihak Rasulullah (ke
Madinah), maka ia harus dikembalikan kepada keluarganya di Makkah. Sebaliknya,
jika ada pengikut Rasulullah dari kota Madinah menyebrang (pergi ke Makkah)
tanpa ijin tidak diperbolehkan kembali ke kota Madinah.
Namun, sebelum perjanjian usai, tokoh
masyarakat kafir dan musyrik, Abu Sufyan, mencoba mengkhianati perjanjian,
karena melihat keuntungan politis dan diplomatis di pahak Muslim. Maka Abu Suyan
membujuk masyarakat kafir dan musyrik Makah supaya membatalkan perjanjian
tersebut.
Gaya dan karakteristik orang kafir dan
musyrik, seperti diperankan Abu Sufyan (ketika masih musyrik), boleh jadi
menginspirasi kaum nasionalis di Indonesia ketika membatalkan kesepakatan
perjanjian seperti termaktub dalam Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah atau
preambule pada saat penyusunan UUD pada sidang kedua BPUPKI. Dan Pada
Pengesahan selanjutnya UUD 45 18 Agustus 1945, istilah Muqaddimah diubah menjadi
Pembukaan UUD. Butir Pertama yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta
atas usulan A.A Maramis.
Atas persetujuan Bung Karno, Mohammad
Hatta menelikung perjanjain hasil keputusan sidang BPUPKI itu, dan membujuk
Teuku Muhannad Hasaan, Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusuo supaya
menerima pembatalan Piagam Jakarta, dengan alasan adanya penolakan dari
sejumlah orang dari Indonesia bagian Timur.
Tragedi penggulingan kekuasaan Presiden
Muhammad Mursi di Mesir, 3 Juli 2013, adalah contoh warisan sejarah masa
jahiliyah. Kekuasaan Mursi hanya bertahan kurang dari setahun, karena
rongrongan dari pihak Kristen Koptik bersekongkol dengan militer yang di dukung
Amerika dan zionis.
Pernyataan Ulama Hadits Saudi, Syaikh
Sulaiman bin Nashir Al-’Ulwan menegaskan, peristiwa yang terjadi di Mesir
sekarang adalah perang antara Islam dan kufur, sungguh relevan.
“Saya merenungi peristiwa yang terjadi
di Mesir. Setelah itu saya yakin, bahwa itu perang antara Islam dan kekufuran.
Bukan antara satu jamaah dengan jamaah lain.”
Syaikh Al-’Ulwan menjelaskan, suka cita
yang diekspresikan oleh media atas apa yang menimpa muslimin berupa
pembantaian, tekanan dan menjejalkan mereka ke dalam penjara adalah bentuk
kemunafikan.
Sementara Mursyid ‘Amm Partai Islam
Se-Malaysia, Nik Abdul Aziz bin Nik Mat menyatakan bahwa kebangkitan Islam
akan terus bergerak dan mengalir bagai sungai Nil di Mesir.
“Insya Allah, sebagaimana Sungai
Nil yang tidak berhenti mengalir, begitu juga nadi kebangkitan rakyat di Mesir
pasti akan terus bergerak. Bagi saya, Fi Zhilalil Quran dan Ma’alim Fith Thariq sedang melahirkan generasinya
pada hari ini!”
Sudah merupakan watak dan karakter
orang-orang kafir, musyrik, sekuler dan demokrasi mengkhianati perjanjian
dengan kaum muslimin, persis seperti yang dilakukan orang-orang kafir dan
musyrik di zaman jahilyah.
Inilah fakta sejarah yang tidak boleh
dilupakan umat Islam. Bahwa orang Islam tidak seharusnya membiarkan orang kafir
dan musyrik menguasai umat Islam, baik secara ideologis maupun politis. Dan
bila berada dalam posisi kuat dan menang, umat Islam jangan mudah tertipu
muslihat politik orang kafir dan musyrik.
Jogjakarta, Selasa 6 Agustus 2013
Takmir Masjid Raya Ar-Rasul
Ustadz Irfan S Awwas
Takmir Masjid Raya Ar-Rasul
Ustadz Irfan S Awwas
(Ukasyah/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar